السلا م عليكم ورحمة الله وبر كا ته

WELCOME IN MY BLOG

Sabtu, 14 Januari 2012

Makan dan Kerja

Seorang ikhwah sedang dalam proses menuju pernikahan. Kali ini ia diundang oleh orangtua si akhwat – yang telah dikhitbah olehnya beberapa hari sebelumnya – untuk makan siang bersama di rumah sang Bapak. Sang mahasiswa sempat keder dan berusaha menolak undangan tersebut dengan berbagai macam alasan acara dan aktivitas. Namun alhamdulillah, sang ikhwah nampaknya tidak diundang sendirian, melainkan bersama keluarganya.

Tiba saatnya makan siang, kedua keluarga telah siap di depan meja makan. Sang Akhwat tak nampak di antara yang hadir, mungkin aktivitas dapur lebih menarik dan lebih ‘aman’ baginya. Sang Bapak pemilik rumah menawarkan pada pada para tamu untu segera memulai menikmati hidangan. Dan mulailah para tamu mengambil hidangan secara bergantian, dan menikmatinya. Adalah sudah menjadi gambaran umum bagi seorang ikhwah untuk selalu ‘itqon’ dalam setiap aktivitasnya. Demikian juga akhi kita tersebut, sebagaimana sudah menjadi ‘fitrah’ dan kebiasaannya di kost-kostannya yang dulu, ia pun makan dengan lahap dan cepat, jauh meninggalkan para hadirin yang lain. Bagi para ikhwah, hal tersebut adalah wajar dan manusiawi. Tapi bagi seorang calon mertua ?. Benar juga, sang calon mertua agak terkejut dengan aktivitas makan calon menantunya tersebut. Mungkin ia berpikir, ” kok ustad makannya banyak ya ? “. Keterkejutan ini berdampak pada perubahan wajah dan pandangan matanya. Keterkejutan tersebut tampaknya diketahui oleh Bapak sang Akhi, dan membuat beliau menjadi agak malu juga. Akhirnya sang Bapak Pemilik rumah tak bisa menyembunyikan keheranannya, dan berkata menyindir,

“Wah .., Nak Budi makannya lahap juga ya .? “.

Sang Akhi sempat kaget juga menyadari sindiran tersebut, demikian juga Bapaknya yang merasa ikut tersindir. Suasana seketika berubah menjadi serba kikuk dan canggung. Namun Akhi kita ini sudah terbiasa berhadapan dengan situasi seperti itu. Untuk memecahkan kebekuan singkat tersebut, dengan cepat ia menjawab secara yakin ,

“Iya Pak, kalau untuk makan saja nggak semangat, gimana nanti kerjanya .?”

Suasana menjadi hidup kembali, nampaknya semua sepakat dengan jawaban calon menantu tersebut. Kalau untuk makan – yang nota bene nikmat dan mudah- saja kita nggak semangat atau malas, bagaimana kalau kita dihadapkan pada sebuah pekerjaan atau aktivitas dakwah yang berat ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar